KESALAHAN LOGIS
Ada beberapa kesalahan logis (fallacy) yang seringkali
terjadi pada siapapun juga; Tak peduli betapa tinggi intelegensinya atau betapa
lengkap informasinya meskipun benar bahwa makin tinggi kecerdasan, wawasan dan
pengetahuan seseorang maka makin sedikit kesalahan logis yang dilakukannya. Agar
mudah menghindarinya, maka berikut ini macam-macam kesalahan logis yang sering
terjadi :
1. Generalisasi
yang Gegabah.
Ini
adalah kesalahan logis yang sepertinya paling sering terjadi. Generalisasi
berarti memberlakukan suatu putusan atau kesimpulan secara umum. Kesalahan
terjadi tatkala sample yang digunakan sebagai acuan tidak mencukupi atau karena
tidak disebutkan batasan-batasan seperti: beberapa, sebagian, kebanyakan,
sejumlah kecil, sering, jarang dan sebagainya. Bisa juga karena terlalu mudah
memakai batasan umum seperti kata “semua”, “selalu” dan sebagainya.
Sebagian kesalahan juga terjadi akibat dari kesimpulan induktif yang tidak
berdasar.
Contoh
kesalahan ini:
§
“Pegawai Negeri itu malas-malas“. Dikatakan karena
melihat beberapa PNS sering tidur atau keluyuran atau lambat ketika bekerja.
Kenyataannya tidak semua PNS itu malas.
§
“Para Pejabat itu korup“. Dikatakan karena melihat
beberapa pejabat melakukan korupsi. Kenyataannya tidak semuanya demikian.
§
“Semua orang Madura itu kasar”. Dikatakan karena sering menemui
orang suku Madura yang gaya bicaranya kasar. Kenyataannya tidak semuanya
demikian.
§
“Berbagai kekacauan yang terjadi belakangan ini
berlatar-belakang politik“. Dikatakan karena asumsi belaka, bukan karena
fakta-fakta logis. Kebenarannya belum tentu demikian.
§
“Para Guru tidak sadar akan masalah-masalah yang paling
mendesak dari murid-muridnya“. Kenyataannya belum tentu semuanya demikian
dan memutuskan sesuatu sebagai mendesak itu bisa jadi berlandaskan asumsi
belaka.
2. Non
Sequitur (Belum Tentu).
Kesalahan
ini terjadi karena adanya loncatan sembrono dari satu premis menuju kesimpulan
yang pada hakikatnya tidak ada kaitannya dengan premis itu. Hubungan yang ada
antara premis dan kesimpulan biasanya hanya berupa; asumsi, prasangka, klaim,
tuduhan dan penghakiman. Secara mudah kesalahan logis ini dikenali sebagai
memastikan sesuatu yang tidak pasti.
Contoh kesalahan ini:
§
Dia orang pandai, maka perilakunya pasti aneh.
§
Suwoto suka wanita, maka bagaimana dia akan menjadi atasan yang
baik?
§
Da’i itu berpoligami, maka mana mungkin dia bisa jadi panutan
umat?
§
Kadir berdebat dengan dosen yang galak itu, dia pasti tidak
lulus.
§
Ia orang baik, suami yang baik, ayah yang baik dan tetangga yang
baik, maka ia pasti akan menjadi pemimpin yang baik.
3. Analogi
Palsu.
Analogi
palsu merupakan suatu bentuk perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan
terlihat benar dengan cara dibandingkan dengan gagasan lain yang pada
hakikatnya tidak berhubungan atau berlainan.
Contoh:
§
Seperti manusia yang akan mati bila kepalanya dipotong, maka
negara akan hancur bila presidennya dibunuh.
§
Membahagiakan istri sama dengan membahagiakan hewan peliharaan;
belai kepalanya sesering mungkin dan cukupi kebutuhannya.
§
Kalau kakak boleh keluar malam hari, kenapa adik tidak boleh?
§
Kalau dalam Islam laki-laki boleh memegang hak talak, harusnya
perempuan juga boleh.
§
Hidup ini laksana ke warung; Begitu kebutuhan tercukupi, maka
tinggal pergi meninggalkannya.
§
Hidup ini panggung sandiwara.
4. Penalaran
Melingkar.
Kesalahan
ini terjadi tatkala premis dan kesimpulannya sama. Dalam diskusi kadang terjadi
keadaan di mana pembicara mengasumsikan kesimpulan atau ide-ide yang ingin
diyakinkan pada audien ke dalam premis-premisnya. Akhirnya, premis bisa jadi
kesimpulan dan kesimpulan bisa jadi premis. Ada yang menyebut kesalahan logika
ini sebagai satanic circle (lingkaran setan).
Contoh:
§
Pendidikan tinggi patut dicari karena orang berpendidikan tinggi
patut dicari.
§
Kehidupan abadi pasti ada karena kenyataan kekalnya jiwa menjamin
hal itu.
§
Manusia merdeka karena bertanggung jawab dan ia bertanggung
jawab karena merdeka.
§
Saya mencintainya karena tumbuh rasa cinta di hati saya padanya.
§
Saya benci karena pokoknya benci.
5. Deduksi
Cacat.
Deduksi
adalah mengambil kesimpulan dari hal yang umum (biasanya secara umum benar)
untuk diberlakukan pada hal yang khusus. Bila dilakukan dengan benar sebenarnya
tidak masalah, namun bila gegabah bisa jadi kesimpulan yang salah.
Contoh:
§
Dia pasti muslim yang baik karena dia rutin shalat jum’at di
masjid.
§
Andar tumbuh dalam keluarga tanpa Ayah, dia akan jadi masalah di
sekolahnya.
§
Mobil itu speedometernya masih 12.000 km. Mobil itu pasti masih
hebat.
§
Andi putra seorang guru hebat, studinya pasti hebat pula.
6. Pikiran
Simplistis.
Kesalahan
ini terjadi tatkala seseorang terlalu menyederhanakan masalah. Masalah yang
begitu rumit hanya dirumuskan menjadi dua kutub saja; hitam-putih, benar-salah,
kalau tidak begini maka harus begini. Padahal selalu ada warna lain selain
hitam dan putih, ada hal yang tidak bisa diputuskan benar atau salah secara
keseluruhan dan hampir selalu ada opsi-opsi lain.
Atau kesalahan bisa juga terjadi karena masalah yang faktornya banyak dan rumit
hanya disederhanakan menjadi satu atau beberapa faktor sederhana saja. Kesesatan
logis ini kerap terjadi pada orang-orang yang “bertampang menguasai masalah”.
Contoh:
§
Kalau orang tidak beragama, niscaya dia merupakan pribadi yang
tak bermoral dan tak bisa dipercaya.
§
Dalam berpolitik, hanya ada dua pilihan; Kawan atau lawan.
§
Anda ikut strategi A atau membuat strategi sendiri sih?
§
Pilih mana antara ikut mencoblos dalam pemilihan umum atau jadi
warga negara yang buruk?
§
Pengaturan bangsa itu sama dengan pengaturan keluarga.
§
Menjadi pemimpin umat itu sama saja dengan menjadi pemimpin
shalat.
§
Islam mengalami kemunduran karena ulamanya tidak berijtihad
sendiri, tapi malah bermazhab.
§
Kalau sistem negara ini diganti menjadi sistem A, maka negara
ini akan maju dan makmur.
§
Presiden itu sukses memimpin bangsa karena dia laki-laki.
7. Argumen
ad Hominem (Menyerang
Orangnya).
Seharusnya
dalam diskusi yang diserang adalah argumen lawan, bukan orangnya yang
berargumen. Teknik menyerang orangnya ini biasanya dipakai tatkala seseorang
kehabisan argumen logis tapi tidak mau terlihat kalah dalam diskusi atau debat
hingga secara licik mengalihkan topik bahasan pada kekurangan diri lawan
bicaranya atau orang yang ingin dijatuhkannya yang tidak berkaitan dengan topik
sebenarnya. Godaan menggunakan teknik sesat ini membesar tatkala dibarengi
dengan luapan emosi.
Contoh:
§
Bagaimana kamu bisa menerangkan masalah ini lah wong kamu
sendiri kuliah saja tidak lulus-lulus?
§
Guru itu tidak pantas mengajar karena tubuhnya pendek, ikut
partai A dan orangnya miskin.
§
Dia itu pejabat macam apa? Tampangnya saja sudah kriminal.
§
Bisa-bisanya dia mencalonkan diri sebagai ketua, padahal rumah
dan mobilnya saja peyot.
8. Argumen
ad Populum (Menyerang
Kelompoknya).
Sama
dengan kesalahan logis sebelumnya, kesalahan ini tidak menyerang pada
argumennya atau pokok masalah sebenarnya. Bedanya kali ini yang diserang adalah
kelompok dari lawan bicara atau orang yang ingin dijatuhkannya.
Contoh:
§
Megawati tidak pantas jadi pimpinan karena perempuan itu lemah
secara fisik, emosional dan intelegensial.
§
Jangan percayai ucapannya Sutarno, biasanya pedagang di
pasar-pasar sering bohong ketika bicara.
§
Pidato Bung Karno ketika mengajak Indonesia keluar dari PBB.
9. Wibawa
Palsu.
Mengutip pendapat seorang ahli seringkali dibutuhkan untuk memberi bobot pada
penalaran, namun ahli yang dikutip harus benar-benar ahli di bidang yang sedang
dibicarakan. Pengutipan pendapat ahli yang salah karena bukan bidang
spesialisasinya disebut dengan wibawa palsu.
Contoh:
§
Mengutip pendapat Einstein dalam masalah nutrisi anak.
§
Mengutip pendapat Henry Dunan dalam masalah politik.
§
Mengutip pendapat sosiolog hukum umum dalam masalah hukum Islam
§
Mengutip Ulama ahli fiqih (hukum Islam) untuk melawan argumen
ulama ahli hadith.
§
Dan sebagainya yang bukan spesifikasinya.
10. Sesudahnya
Maka Karenanya (Post hoc ergo propter hoc).
Kesalahan
logis ini berkaitan dengan salah interpretasi atau salah tafsir terhadap
hubungan sebab akibat. Tidak semua yang terjadi disebabkan oleh kejadian
sebelumnya. Sebagian orang masih sering terkena kesalahan logis semacam ini,
terutama mereka yang percaya takhayul.
Contoh:
§
Setelah membuang surat berantai dia dipecat dari jabatannya.
Jadi sebab dia dipecat adalah membuang surat berantai.
§
Setelah menikah dengan istri yang sekarang, dia hidup miskin.
Jadi sebab dia miskin adalah istrinya yang sekarang.
§
Setelah SBY diangkat jadi presiden sering terjadi bencana alam
di Indonesia. Jadi penyebab bencana alam itu adalah SBY.
11. Bersamanya
maka karenanya (Cum hoc ergo propter)
Kesalahan
ini terjadi tatkala menganggap suatu kejadian mesti jadi penyebab kejadian lain
yang terjadi bersamaan. Padahal kedua kejadian tersebut pada hakikatnya tidak
terkait sama sekali. Disebut juga sebagai kesalahan logis
koinsidensi/kebetulan.
Contoh:
§
Ketika Suwoto menusuk tiang rumah tetangganya dengan pisau,
orang yang punya rumah meninggal seketika. Berarti tetangganya itu meninggal
karena tiang rumahnya ditusuk oleh Suwoto.
12. Tidak
Relevan
Kesalahan
ini kerap terjadi pada orang yang kurang terpelajar. Isi pembicaraannya tidak
berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. Kadangkala orang terpelajar pun
jatuh dalam kesalahan ini ketika sedang ingin mengalihkan diri dari pokok
masalah sesungguhnya
Contoh:
§
“Kenapa saya dihukum karena pelanggaran ini kalau Boss
sendiri sama-sama melakukan?“. Meskipun si Boss melakukan kesalahan yang
sama, tapi tidak membuat pelanggaran si bawahan jadi benar.
§
“Tolong Si Sinta supaya diangkat menjadi sekretaris karena
dia orangnya cantik!“. Menjadi sekretaris sebenarnya tidak berhubungan
dengan kecantikan, karena bukan modelling.